Hai, teman-teman :))
Sekitar 5 tahun yg lalu, setelah saya lulus dari sebuah SMK
Katolik di Malang, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di sebuah
instansi pendidikan yg memiliki jurusan Perhotelan didalamnya. Selama kurang
lebih 3 bulan saya menempuh pelajaran teori, tiba saatnya untuk melaksanakan
program Praktek Kerja Lapangan (PKL). Dan kebetulan saat itu, saya dengan
beberapa teman saya mengikuti tes penempatan di Hotel Shangrila Surabaya. Puji
Tuhan dari serangkaian tes, saya lolos dengan nilai terbaik kedua di hotel
tersebut. Materi tes yg menggunakan bahasa Inggris dengan sedikit bahasa sebuah
suku di Kongo Selatan, berhasil membawa saya lolos tes pada hari itu, dan saya
ditempatkan di posisi yg sangat strategis menurut atasan saya, yakni Lift
Attendant.
Perlu kalian ketahui, Lift Attendant adalah pekerjaan yg
menuntut kondisi fisik yg prima. Bagaimana tidak, berdiri selama 8 jam kerja
tanpa boleh duduk dan tugasnya hanya memencet tombol lift. Bisa dibayangkan
apabila saya bekerja dalam 6 bulan saja, maka skill pencet memencet saya akan
diatas rata-rata. Bahkan bisa dipastikan betis saya akan lebih ekotis ketimbang
betis Usain Bolt yg hobi lari, betis Cristiano Ronaldo yg lari-lari mengejar
bola di lapangan, maupun betis @sindyasta yg sudah pernah menang Kontes Betis Sehat
Indonesia Pintar itu. Hehehehe
Anyway, ternyata saya salah sangka. Ternyata menjadi Lift
Attendant bukan pekerjaan tetap saya. Karena posisi tersebut berada dibawah
naungan Concierge Section atau lebih dikenal dengan Bell Boy pada umumnya. Dan
menurut saya pekerjaan ini sangat keren. Kaena selain membawakan barang-barang
tamu hotel, kami juga dituntut untuk memahami segala bentuk fasilitas didalam
hotel, memahami segala bentuk pariwisata yg ada di kota Surabaya, dan tentunya
semua itu dituntut untuk memahami dan mengaplikasikan bahasa Inggris dalam
berkomunikasi dengan tamu-tamu hotel, khususnya yg berasal dari luar negeri.
Selang 3 bulan saya bekerja disana, tepatnya pada hari kedua
puasa Ramadhan, saya diangkat menjadi pegawai kontrak disana. Merupakan
pengalaman yg sangat baik bagi saya kedepannya. Dan saya merasa bahwa saya
telah menjadi bagian dari keluarga besar hotel tersebut.
Pada suatu hari yg panas seperti biasanya iklim kota
Surabaya, saya bangun pagi-pagi sekali pukul 4. Namun, bangun pada jam itu
membuat saya terlambat untuk sahur. Sebagai informasi, pemilik kosan saya
adalah seorang muslim yg taat. Dan pagi-pagi sekali biasanya sudah
mempersiapkan hidangan sahur. Otomatis kami semua merasa terbantu dengan
kebiasaan tersebut. Tak terkecuali saya, dengan senang hati mengikuti sahur
bersama. Namun pada hari itu saya terlambat untuk mengikuti sahur bersama,
karena malam sebelumnya lembur hingga pukul 00.30. Herannya, pintu kamar saya
tidak digedor untuk membangunkan saya. Entah teman-teman saya lupa dengan
keberadaan makhluk eksotis dan menawan seperti saya atau memang mereka memahami
bahwa saya pulang telah larut semalam. Namun, hal ini yg menyebabkan saya tidak
sarapan sebelum bekerja di pagi ini.
Akhirnya dengan perut lapar, saya berangkat menuju hotel yg
berjarak 10 menit jalan kaki dari kos. Perjalanan yg cukup menguras tenaga
karena cuaca yg panas pun menambah rasa lapar saya. Dan sudah pasti pada saat
bekerja pun saya terlihat tidak sesemangat biasanya. Saya terlihat lunglai dan
lemas. Untung saja dengan tingkat occupancy (hunian hotel) yg rendah pada saat
bulan ramadhan membuat pekerjaan relative lebih ringan. Namun, hal ini
sebenarnya semakin membuat saya ingat akan kondisi perut saya yg lapar dan
semakin merasakannya. Saya sudah putus asa, putus tali persaudaraan, dan
putuskan saja jalinan cinta kita, saat tiba-tiba Bell Captain memanggil saya.
Saya sudah berpikir yg tidak-tidak karena dipanggil secara tiba-tiba ini. Saya
takut diberi SP karena ketidaksemangatan saya dalam bekerja. Apalagi saya
dikasih surat cinta oleh atasan saya, bisa repot. Repot membalas cintanya.
Padahal Bell Captain itu cowok. Ouch…
Ternyata pemanggilan tersebut rupanya untuk memberikan saya
sebungkus nasi. Saya kaget, untuk apa nasi bungkus ini. Rupanya nasi bungkus
ini dibagikan sesuai kebiasaan section ini untuk sarapan. Dan nasi bungkus ini
dibagikan kepada pegawai non muslim yg tidak melaksanakan ibadah puasa. Sontak
saya terharu dengan kebiasaan yg ada disini. Bahkan yg membeli nasi bungkus
tersebut adlah driver yg bertugas pukul 6 pagi untuk mengantar para pegawai
Front Office hotel yg bertugas di Bandara Juanda, dan beliau adalah seorang
Kyai di kampungnya.
Alangkah indah menurut saya kebiasaan yg ada didalam hotel
ini. Para pegawainya bekerja berdampingan tanpa memandang suku, agama, ras, dan
strata social. Semua bekerja sesuai dengan posisi dan job desk masing-masing.
Namun nilai-nilai kekeluargaan sungguh dijunjung tinggi disini. Dan alangkah
indah apabila semua elemen masyarakat mampu menghargai dan menerapkan konsep
toleransi beragama dimanapun berada. Tidak hanya mengingatkan saja untuk
meminta dihormati, namun melakukan tindakan nyata dalam rangka mempererat tali
persaudaraan antar umat ciptaan Tuhan :))
Ini #RamadhanBercerita ku, mari posting #RamadhanBercerita mu,
kawan :))
(@omes06)