Sabtu, 12 Oktober 2013

#RamadhanBercerita – Nasi Bungkus Persaudaraan



Hai, teman-teman :))
Sekitar 5 tahun yg lalu, setelah saya lulus dari sebuah SMK Katolik di Malang, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di sebuah instansi pendidikan yg memiliki jurusan Perhotelan didalamnya. Selama kurang lebih 3 bulan saya menempuh pelajaran teori, tiba saatnya untuk melaksanakan program Praktek Kerja Lapangan (PKL). Dan kebetulan saat itu, saya dengan beberapa teman saya mengikuti tes penempatan di Hotel Shangrila Surabaya. Puji Tuhan dari serangkaian tes, saya lolos dengan nilai terbaik kedua di hotel tersebut. Materi tes yg menggunakan bahasa Inggris dengan sedikit bahasa sebuah suku di Kongo Selatan, berhasil membawa saya lolos tes pada hari itu, dan saya ditempatkan di posisi yg sangat strategis menurut atasan saya, yakni Lift Attendant.
Perlu kalian ketahui, Lift Attendant adalah pekerjaan yg menuntut kondisi fisik yg prima. Bagaimana tidak, berdiri selama 8 jam kerja tanpa boleh duduk dan tugasnya hanya memencet tombol lift. Bisa dibayangkan apabila saya bekerja dalam 6 bulan saja, maka skill pencet memencet saya akan diatas rata-rata. Bahkan bisa dipastikan betis saya akan lebih ekotis ketimbang betis Usain Bolt yg hobi lari, betis Cristiano Ronaldo yg lari-lari mengejar bola di lapangan, maupun betis @sindyasta yg sudah pernah menang Kontes Betis Sehat Indonesia Pintar itu. Hehehehe
Anyway, ternyata saya salah sangka. Ternyata menjadi Lift Attendant bukan pekerjaan tetap saya. Karena posisi tersebut berada dibawah naungan Concierge Section atau lebih dikenal dengan Bell Boy pada umumnya. Dan menurut saya pekerjaan ini sangat keren. Kaena selain membawakan barang-barang tamu hotel, kami juga dituntut untuk memahami segala bentuk fasilitas didalam hotel, memahami segala bentuk pariwisata yg ada di kota Surabaya, dan tentunya semua itu dituntut untuk memahami dan mengaplikasikan bahasa Inggris dalam berkomunikasi dengan tamu-tamu hotel, khususnya yg berasal dari luar negeri.
Selang 3 bulan saya bekerja disana, tepatnya pada hari kedua puasa Ramadhan, saya diangkat menjadi pegawai kontrak disana. Merupakan pengalaman yg sangat baik bagi saya kedepannya. Dan saya merasa bahwa saya telah menjadi bagian dari keluarga besar hotel tersebut.
Pada suatu hari yg panas seperti biasanya iklim kota Surabaya, saya bangun pagi-pagi sekali pukul 4. Namun, bangun pada jam itu membuat saya terlambat untuk sahur. Sebagai informasi, pemilik kosan saya adalah seorang muslim yg taat. Dan pagi-pagi sekali biasanya sudah mempersiapkan hidangan sahur. Otomatis kami semua merasa terbantu dengan kebiasaan tersebut. Tak terkecuali saya, dengan senang hati mengikuti sahur bersama. Namun pada hari itu saya terlambat untuk mengikuti sahur bersama, karena malam sebelumnya lembur hingga pukul 00.30. Herannya, pintu kamar saya tidak digedor untuk membangunkan saya. Entah teman-teman saya lupa dengan keberadaan makhluk eksotis dan menawan seperti saya atau memang mereka memahami bahwa saya pulang telah larut semalam. Namun, hal ini yg menyebabkan saya tidak sarapan sebelum bekerja di pagi ini.
Akhirnya dengan perut lapar, saya berangkat menuju hotel yg berjarak 10 menit jalan kaki dari kos. Perjalanan yg cukup menguras tenaga karena cuaca yg panas pun menambah rasa lapar saya. Dan sudah pasti pada saat bekerja pun saya terlihat tidak sesemangat biasanya. Saya terlihat lunglai dan lemas. Untung saja dengan tingkat occupancy (hunian hotel) yg rendah pada saat bulan ramadhan membuat pekerjaan relative lebih ringan. Namun, hal ini sebenarnya semakin membuat saya ingat akan kondisi perut saya yg lapar dan semakin merasakannya. Saya sudah putus asa, putus tali persaudaraan, dan putuskan saja jalinan cinta kita, saat tiba-tiba Bell Captain memanggil saya. Saya sudah berpikir yg tidak-tidak karena dipanggil secara tiba-tiba ini. Saya takut diberi SP karena ketidaksemangatan saya dalam bekerja. Apalagi saya dikasih surat cinta oleh atasan saya, bisa repot. Repot membalas cintanya. Padahal Bell Captain itu cowok. Ouch…
Ternyata pemanggilan tersebut rupanya untuk memberikan saya sebungkus nasi. Saya kaget, untuk apa nasi bungkus ini. Rupanya nasi bungkus ini dibagikan sesuai kebiasaan section ini untuk sarapan. Dan nasi bungkus ini dibagikan kepada pegawai non muslim yg tidak melaksanakan ibadah puasa. Sontak saya terharu dengan kebiasaan yg ada disini. Bahkan yg membeli nasi bungkus tersebut adlah driver yg bertugas pukul 6 pagi untuk mengantar para pegawai Front Office hotel yg bertugas di Bandara Juanda, dan beliau adalah seorang Kyai di kampungnya.
Alangkah indah menurut saya kebiasaan yg ada didalam hotel ini. Para pegawainya bekerja berdampingan tanpa memandang suku, agama, ras, dan strata social. Semua bekerja sesuai dengan posisi dan job desk masing-masing. Namun nilai-nilai kekeluargaan sungguh dijunjung tinggi disini. Dan alangkah indah apabila semua elemen masyarakat mampu menghargai dan menerapkan konsep toleransi beragama dimanapun berada. Tidak hanya mengingatkan saja untuk meminta dihormati, namun melakukan tindakan nyata dalam rangka mempererat tali persaudaraan antar umat ciptaan Tuhan :))

Ini #RamadhanBercerita ku, mari posting #RamadhanBercerita mu, kawan :))
(@omes06)

#RamadhanBercerita – Sekelumit Pisang Goreng



Hai, teman-teman sekalian :))
Maaf ya saya sudah lama tidak posting cerita. Beberapa hari ini saya sibuk. Sibuk mikirin kerjaan, sibuk mikirin kenaikan bahan-bahan pokok di pasar, sibuk mikirin Olga yg selalu dateng telat di acara Pesbuker.
Okeh, malem ini saya mau cerita tentang pengalaman saya waktu kelas 5 SD. Waktu saya imut-imutnya dulu. Sekarang masih imut sih, tapi lebih banyak eksotisnya. Okeh, skip.
Pada suatu hari yg mengesalkan, saya pulang ke rumah naik angkot seperti biasanya. Dalam keadaan lapar parah. Jarak dari sekolah ke rumah kira-kira 35 menit kalau ditempuh menggunakan angkot. Dan mengapa saya bilang hari itu mengesalkan? Karena sedari pagi saya sudah uring-uringan. Pagi harinya, saya sebenarnya beangkat ke sekolah naik antar jemput langganan yg biasanya menjemput pukul 05.30. Namun entah mengapa pada hari itu tidak seperti biasanya, antar jemput yg biasanya datang tepat waktu, tak kunjung datang. Jam dinding di dapur sudah menunjukkan pukul 06.00. Dengan sangat terpaksa saya pun berangkat menggunakan angkot yg kebetulan rutenya melewati depan rumah saya yang lama. Namun dasar kampret, naik angkot jam segitu sama aja dengan tindakan bunuh diri karena semua angkot sudah penuh begitu melewati rumah saya. Kalaupun ada yg kosong di angkot berikutnya, perlu perjuangan untuk mendapatkan tempat didalamnya. Dan saya sangat ingat pada pagi itu ada sekitar 9 orang, beserta saya tentunya, yang menunggu giliran untuk dapat meniki angkot yg lewat. Kebetulan 2 orang yg ada disitu adalah tetangga dan teman main bola saya setiap sore. Kalo boleh diibaratkan, ini seperti arena pertempuran di film 300. Dimana kami, 3 orang yg mewakili prajurit Sparta melawan 6 orang yg mewakili Persepam Madura United. Eh, salah. Sisanya mewakili kaum Persia. Bukan memperebutkan kekuasaan, tp rebutan jatah pantat didalem angkot. Dan akhirnyaaa…sampe jam 6.30 angkotnya tidak segera menampakkan diri. Kampret. Untungnya ada anter jemput lain, yg tidak tahu kenapa jam segitu masih aja keliaran di daerah Sawojajar. Dengan berat hati dan berat kaki karena kaki saya digandoli temen saya yg mau ikutan nebeng, saya pun berpisah dengan mereka. Biarlah mereka mencari transportasi alternative agar mereka bisa sampai sekolahnya. Lagian mereka lebay, sekolahnya lho 500 meter doang dari kompleks rumah kami.
Sampai di sekolah pun jamnya mepet. PR juga terbengkalai. Maka saya sukses dijewer oleh guru Bahasa Indonesia saya, belum lagi dipotong poinnya dan disuruh berdiri didepan kelas sampai mata pelajaran tersebut selesai. Pelajaran Olahraga yg saya gadang-gadang menjadi obat pelipur lara pun ternyata tidak menyenangkan hari itu. Pelajaran baris berbaris lah penyebabnya. Dasar guru kampret. Untung saja bola sepak yg ada disitu tidak saya tendang kepadanya. Tapi kalau kena serem juga sih. Guru saya mantan atlet selam. Apa aja dia pernah salami. Laut, Akuarium, bahkan hati guru sejarah juga ia salami. Padahal guru sejarah saya cowok. Tua lagi. Hihihi
Istirahat siang, seperti biasa saya menuju kantin sekolah yg pasti penuh dengan lautan manusia. Dan karena saya terlalu lama ganti baju olahraga, maka penuh sesak lah kantin pada saat itu. Saya juga sebenarnya malas mau bergabung dan berjubel dengan manusia- manusia di kantin tersebut. Namun, karena satu tujuan, yakni pisang goreng kantin yg syahdu, saya rela berdesak-desakan. Tapia pa mau dikata, karena badan saya yg sangat kecil pada saat itu, maka pada saat antrian mulai longgar, habislah hidangan maha lezat tersebut. Perlu kalian ketahui, pada saat kelas 5 SD, hanya saya yg pertumbuhannya terhambat, baik tinggi badan maupun mental sepertinya. Teman-teman saya sudah mengerti apa itu pacaran. Saya masih sibuk ngemut kelereng. Bahkan saking kecilnya saya, dimasukin ke kotak kapur pun sepertinya muat.
Pisang goreng Bu kantin seperti sudah menjadi candu tersendiri bagi saya,teman-teman. Rasanya kalo sehari tanpa pisang goreng itu kurang syahdu hidup saya. Pisang goreng bagaikan belahan hati saya mulai dari kelas 3 SD. Ironis memang, dikala teman-teman saya pada sibuk PDKT dan naksir-naksiran begitu, saya masih terobsesi dengan pisang goreng Bu kantin. Epic!!! (baca: bego akut)
Tidak dapat menikmati pisang goreng Bu kantin membuat mood saya seketika berubah buruk saat itu juga. Saya jadi uring-uringan. Diajak ngobrol sama teman saya, saya diamkan. Pak Guru menyuruh saya maju mengerjakan soal didepan kelas, saya diam saja. Saya dicolek temen saya yg cantik, saya juga diam. Mulut saya yg diam, tangan saya bales colek cewek tadi. Hehehe. Bahkan semakin intens. Yg pertama colek-colekan berubah jadi saling mengusapkan ingus. Enggak kok, bercanda. Mengusapkan upil di meja.
Pulang sekolah pun saya mampir di warung depan sekolah mencari pisang goreng untuk mengembalikan mood saya. Namun warung tersebut tutup. Bahkan dimana-mana warung pada tutup. Saya curiga, apakah ini konspirasi pemerintah dan para penjual warung. Apakah jangan-jangan hari tersebut adalah hari warung sedunia hingga penjual warung pada meliburkan dagangannya. Jadilah sepanjang perjalanan pulang saya diam saja. Kesal karena hari ini buruk, pisang goreng tidak dapat, kebelet pup juga. Oh, Tuhan. Apakah tidak ada yg lebih buruk?
Sampai rumah, saya pun memutuskan untuk tidur siang. Rencananya sore-sore mau cari pisang goreng di tukang gorengan depan rumah. Eh, kampretnya saya yg jago molor ini ketiduran dengan sukses. Jadilah bangun pada saat adzan maghrib menjelang. Saya berlari kedepan rumah dan mendapati tukang gorengan sudah membereskan dagangannya. Oh, mengapa hari ini sial sekali nasib saya.
Saya pun masuk kerumah dengan menundukkan kepala. Nenek saya bertanya mengapa wajah saya kusut begitu. Emang sih, begitu saya bercermin wajah saya kusut banget. Tapi masih tetap imut kok. Hehehe. Saya pun bercerita kejadian seharian tadi. Nenek saya hanya tertawa. Jelas saja semua warung tutup, kan hari itu puasa Ramadhan. Dan saya baru sadar kalau otak saya tidak hanya terlambat berkembang, namun juga tidak berjalan sebagai mana mestinya.
Dan tanpa saya sadari, mama saya sudah membelikan pisang goreng banyak sekali. Bahkan nongkrong dengan indahnya diatas meja makan. Saya bahagia, semua senang, semua ceria. Hehehe

Inilah pengalaman #RamadhanBercerita ku, mana #RamadhanBercerita mu, kawan?? :))
(@omes06)